Berita tentang korupsi terkait pajak dan pencucian uang kembali merebak. Padahal perkara Gayus yang menghebohkan belum benar-benar reda.
Dalam sebulan terakhir muncul dua oknum Direktorat Jenderal Pajak dari Golongan III, Dhana Widyatmika (DW) dan Ajib Hamdani (AH), yang ditengarai terlibat kejahatan pajak dan pencucian uang. Pemicu pengungkapannya adalah uang di rekening mereka yang jumlahnya luar biasa besar,dan ternyata ada temuan baru lagi ratusan pegawai pajak yang juga ditengarai memiliki rekening gendut. Pertanyaannya, mengapa begitu banyak temuan rekening gendut petugas pajak, dan mengapa muncul lagi dugaan korupsi dan pencucian uang yang dilakukan oleh para petugas pajak tersebut?
Hal itu membuktikan bahwa penanganan kasus Gayus bahkan Bahasyim tidak membuat jera para petugas lain di Direktorat Jenderal Pajak. Selain itu ada kemungkinan pengawasan internal dan reformasi birokrasi serta program remunerasi juga kurang berpengaruh pada orang-orang tertentu yang memang berpotensi untuk melakukan korupsi. Dalam kasus korupsi pajak polanya mirip dengan Gayus, yaitu mendapatkan uang dengan cara korupsi, kemudian disembunyikan atau diinvestasikan atau dibelanjakan dan disetorkan—perbuatan terakhir inilah yang memperlihatkan pola pencucian uangnya.
Korupsi dan Pencucian Uang
Untuk kasus DW,kejaksaan sementara menyangkakan perbuatan DW dengan Pasal 2, 3, 5,dan 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) serta Pasal 3 dan 4 Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Seharusnya kejaksaan segera mengembangkan temuannya sehingga didapatkan pelaku lain. Belajar dari kasus Gayus, tampaknya pengembangan itu yang tidak dilakukan,sehingga terkesan korupsi dan pencucian uang hanya melibatkan Gayus seorang dan ini sangat janggal.
Demikian juga dengan DW, AH, dan mungkin yang lain, harus didalami keterlibatan orang lain di direktorat itu. Mustahil dia bekerja sendiri karena sudah sekian lama baru terungkap. Selain itu yang penting adalah keterlibatan wajib pajak, karena sangkaan menerima suap dan gratifikasi berarti tidak mungkin peristiwa itu berlangsung hanya dengan sepihak. Ada hal yang menarik dalam kasus ini yang justru terungkap karena laporan dari masyarakat dan kemudian kejaksaan meminta data rekening DW pada PPATK yang kemudian didapatkan beberapa transaksi yang kemudian didalami.
Pada umumnya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh petugas pajak adalah perbuatan memperkaya diri dengan modus penggelapan pajak atau menawarkan jasa pada wajib pajak untuk meringankan pajak yang harus dibayarkan, penyuapan, gratifikasi, bahkan pemerasan. Kemudian, hasil korupsi tersebut ada yang disimpan di rekening maupun dalam safety deposit box, atau untuk membeli berbagai barang. Ada juga yang diinvestasikan. Perbuatan terhadap hasil kejahatan itulah yang disebut sebagai praktik pencucian uang.
Tindak pidana itu secara umum didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dalam upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan. Bentuknya bermacam- macam,misalnya mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, dan lain-lain dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan hasil kejahatan tersebut.
Selain itu, siapa saja yang menerima hasil kejahatan tersebut, seperti memberikan rekeningnya untuk menampung hasil kejahatan atau menerima hibah atau menerima untuk melakukan kegiatan usaha dan lain-lain, maka orang ini dikategorikan sebagai pelaku pencucian uang pasif. Perbuatan mencuci inilah yang harus didalami oleh kejaksaan ke mana hasil kejahatan tersebut mengalir dan siapa saja yang menerima hasil kejahatan, selain juga siapa saja yang terlibat korupsi pajaknya yang sangat mustahil dilakukan sendiri.
Pencucian Uang dalam Korupsi
Sesuatu yang penting dipahami adalah bahwa bila terjadi korupsi hampir pasti juga dilakukan pencucian uang, yaitu ketika koruptor tersebut menyembunyikan atau menikmati hasil korupsinya. Maka seharusnya setiap menangani korupsi jangan hanya dijerat tindak pidana korupsi, tapi juga dengan antipencucian uang. Karena pada kenyataannya hasil korupsi tersebut pasti telah dialirkan atau digunakan, yang menunjukkan bahwa mereka juga melakukan pencucian uang.
Dengan ditelusuri ke mana uang hasil korupsinya dicuci, maka kita berharap penegak hukum bisa merampas hasil korupsi tersebut dan mengembalikan ke negara. Hal yang juga penting adalah siapa pun yang menguasai hasil korupsi tadi dipidana karena terlibat pencucian uang. Belakangan banyak pejabat dan aparat yang terlibat korupsi dan hasil korupsi sudah mengalir ke mana-mana, sayangnya hanya sedikit yang dijerat dengan pasal-pasal antipencucian uang, sehingga hasil kejahatan tidak kembali dan orang yang terlibat tidak tersentuh hukum.
pendapat saya : Dengan menerapkan antipencucian uang pada pelaku korupsi (termasuk korupsi pajak), maka upaya perampasan hasil korupsi lebih optimal sekaligus bisa memenjarakan siapa pun yang menikmati hasil jarahan uang rakyat tersebut, selain memenjarakan koruptornya. Hal yang lebih penting lagi, dengan diterapkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dilakukan pembuktian terbalik, yaitu koruptor yang menyangkal hartanya berasal dari korupsi, atau orang lain yang menerima hasil korupsi, akan diperintahkan oleh hakim untuk membuktikan asal-usul hartanya dan dia tidak bisa membuktikan harta tersebut bersumber dari kegiatan yang sah, maka harus disita untuk negara dan pelakunya dipidana. Untuk itu seharusnya tidak ada lagi alasan penegak hukum tidak menerapkan UU Tindak PidananPencucianUangdalam perkara korupsi, bila mau menuntaskan perkara dengan menjangkau siapa pun yang terlibat termasuk yang menerima aliran dana hasil korupsi
kawan, karena kita sudah mulai memasuki mata kuliah softskill akan lebih baik jika blog ini disisipkan link Universitas Gunadarma yaitu www.gunadarma.ac.id yang merupakan identitas kita sebagai mahasiswa di Universitas Gunadarma juga sebagai salah satu kriteria penilaian mata kuliah soft skill.. terima kasih :)
BalasHapus