Sabtu, 28 Juni 2014

Begitu Populernya Jokowi Di Seluruh Indonesia Dan Pilpres 2014

Di medio bulan November 2013 lalu, jauh sebelum hingar- bingar kampanye Pilres 2014 dengan segala isu, gaya kampanye baik yang negatif maupun positif , saya berbincang- bincang dengan seorang teman yang baru saja menjalankan tugas keliling ke beberapa wilayah di Indonesia, mulai pelosok Aceh, Palembang, Lampung, hingga di Kalimantan, Sulawesi dan juga pedalaman Papua. Pekerjaan teman saya tersebut adalah konsultan pengembangan masyarakat spesialisasi pengembangan ekonomi kecil dan kreatif. Teman saya tersebut bercerita bagaimana gambar, spanduk dan baju kotak- kotak khas Jokowi bertebaran di daerah- daerah yang dikunjunginya tersebut. Daerah- daerah terpencil yang nota bene jauh dari hingar- binger politik dan secara politik mereka umumnya apatis dan top down menurut teman saya begitu aktif dalam membincangkan sosok Jokowi yang ketika itu masih menjabat gubernur DKI. Menurut teman saya, fenomena aktifnya masayarakat tersebut, yang nota bene di pedalaman, jauh dari nalar politik, jarang ditemui . teman saya sampai tidak percaya kalau Jokowi di daerah- derah pedalam tersebut begitu popular, begitu disukai dan menjadi perbincangan. Ketika bertemu dan mengobrol dengan mereka, teman saya bahkan sampai ditanya oleh mereka bagaimana caranya untuk bisa bertemu dengan Jokowi di Jakarta, sekedar hanya untuk bertemu, salaman dan melihat wajahnya. Jujur, Sederhana dan Merakyat Ketika teman saya menanyakan apa alasan mereka begitu sukarela memasang umbul- umbul bergambar Jokowi dan begitu antusiasnya mereka untuk bertemu dan bertatap muka dengan Jokowi, mereka kompak menjawab bahwa Jokowi adalah tipe pemimpin ideal mereka. Bagi mereka pemimpin adalah sosok seperti Jokowi yang bergaya seperti masyarakat kebanyakan, tanpa jarak dan hambatan birokrasi dengan rakyat, tegas dan punya visi namun disisi lain dalam menyelesaikan masalah- masalah rakyat tidak mengggunakan powernya sebagai penguasa dan tidak semena-mena atas nama undang- undang/ perda dalam pelaksanaan kebijakannya. Namun mau berkomunikasi dengan rakyat dan juga jujur terhadap rakyat. Bagi mereka tipe pemimpin seperti itulah yang ideal ditengah- tengah perilaku dan moral elit dan pemimpin politik yang bermewah- mewah, korup, berjarak dengan rakyat dan cenderung mementingkan kepentingan dan keinginannya sendiri tanpa ada komunikasi timbal balik dengan rakyat dan tidak menunjukan gaya dan perilaku empati ditengah situasi masyarakat. Kebutuhan Model Pemimpin ala Jokowi Ketika saya mendapat tugas dari kantor untuk di beberapa wilayah Indonesia, yaitu di Masohi di Ambon, di daerah Batu Betumpang di Bangka Belitung, di beberapa wilayah Sulawesi, di daerah Kalimantan, saya juga menemukan fenomena yang sama ditemui oleh teman saya. Dalam sebuah pertemuan tidak sengaja disebuah warung kopi di pedalaman sebuah kabupaten di Pulau Seram misalnya, saya menemukan begitu antusiasnya masyarakat dalam membicarakan Jokowi. Tampak dari mata dan ekspresi mereka kekaguman akan sosok Jokowi. Menurut mereka, Jokowi adalah tipe pemimpin ideal meraka. Sosok pemimpin yang tidak jumawa dengan pangkatnya, tidak menghargai masyarakat yang dipimpinnnya, sosok yang mau mendengar namun juga tegas dalam menjalankan visinya, serta sosok yang sederhana dalam bergaya dan bersikap. Sosok pemimpin yang mereka idam- idamkan sejak dahulu ditengah- tengah pola kepemimpinan ala adipati yang feodalistik, pola kepemimpinan yang elitis dan bermewah- mewah. Bagi mereka Jokowi adalah sosok yang pemimpin yang mengerti bahwa masyarakat masih banyak yang belum hidup mapan, belum banyak tersentuh pembangunan dan masyarakat adalah raja/ konsumen dari pemimpinnya yang harus dipuaskan. Saya melihat fenomena tersebut merupakan puncak keinginan rakyat kebutuhan akan model kepemimpinan yang berbeda dengan era sebelumnya yaitu kepemimpinan ala Jokowi. Dimana seiring dengan munculnya pola kepemimpinan baru yang ditunjukan oleh Jokowi, masyarakat kemudian aktif berpartisipasi dan dilakukan secara sukarela. Sebuah bentuk partisipasi politik yang jarang ada dalam masyarakat Indonesia yang partisipasinya selama ini cenderung disusun dari top down, digerakan oleh uang atau kekuasaan dan partisipasi politik yang digerakan oleh elemen luar. Kebutuhan dan kerinduan masyarakat akan sosok Jokowi sebagai pemimpin mereka yang membuat mereka semangat dalam membicarakan, mendukung , merindukan dan setuju apabila Jokowi mencalonkan diri menjadi pemimpin yang lebih tinggi (presiden) Jokowi dan Pilres 2014 Kini Jokowi telah mencalonkan diri menjadi presiden Republik Indonesia yang ketujuh. Dan sebagaimana dilihat di media, ketika Jokowi berkunjung ke daerah- daerah tersebut, dukungan dan antusiasme masyarakat begitu kuat dan membludak. Melihat animo dan kuatnya dukungan terhadap Jokowi di daerah- daerah pedalaman di seluruh Indonesiadi era kampanye Pilpres ini menjadi kuat keyakinan dan prediksi saya bahwa memang masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang seperti Jokowi, sosok yang selama ini dibutuhkan oleh masayarakat Indonesia ditengah- tengah kebuntuan, kebosanan, kemuakan masyarakat akan perilaku pemimpin- pemimpin sebelumnya yang jauh dari pikiran dan perilaku untuk membangun dan mensejahterakan rakyat. Jokowi adalah harapan, pemimpin ideal dan solusi masalah kebangsaan mereka.

Review Jurnal (Akuntansi Internasional)



1          Identitas Artikel   
a.       Judul    :    AKUNTANSI INTERNASIONAL : HARMONISASI VERSUS
    STANDARDISASI
b.      Penulis :   Arja Sadjiarto
c.       Jurnal   :   Jurnal Akuntansi & Keuangan
d.      Volume :   1
e.       Tahun   :   1999
f.       Nomor   :  2
g.      Halaman:  144-161

2          Pendahuluan
a.       Motivasi :   Kecenderungan meningkatnya globalisasi di bidang ekonomi semakin tampak dengan adanya kesepakatan-kesepakatan antar negara dalam satu region tertentu, seperti European Union (EU), North American Free Trade Agreement (NAFTA), Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Indonesia sendiri merupakan salah satu dari delapan belas negara anggota APEC.
b.      Tujuan :   Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui langkah lembaga-lembaga dunia dalam mengatasi perbedaan-perbedaan antar standar akuntansi di berbagai negara.

3          Tinjauan Pustaka & Hipotesis
a.       Tinjauan Pustaka  :
·         Financial Accounting Standards Board (1999), Summaries and Status of all FASB Statements, http://www.rutgers.edu/Accounting/raw/fasb/public/index.html,September 1999.
·         ______ (1999), International Accounting Standard Setting: A Vision for the Future- Report of the FASB , http://www.rutgers.edu/Accounting/raw/fasb , September 1999.
·         International Accounting Standards Committee (1999), List of Current IASC Standards, http://www.iasc.org.uk/frame/cen2_1.htm
·         Iqbal, M. Zafar, Trini U. Melcher dan Amin E. Elmallah (1997), International Accounting : A Global Perspective, Cincinnati, Ohio: South-Western College Publishing Nobes, Christoper dan Robert Parker (1995), Comparative International Accounting, Edisi keempat, London: Prentice Hall International (UK) Limited
·         Radebaugh, Lee H., dan Sidney J. Gray (1997), International Accounting and Multinational Enterprises, Edisi keempat, Toronto, Canada: John Wiley & Sons, Inc.
b.      Hipotesis :   Harmonisasi ini tidak harus menghilangkan standar akuntansi yang berlaku di setiap negara.


4.    Metode Penelitian   
a.       Pengukuran variabel  :   -
b.      Metode analisis  :  Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dimana memberikan gambaran mengenai fenomena yang sesungguhnya terjadi dan menggunakan pendekatan kualitatif.
c.       Objek :  Lembaga-lembaga harmonisasi standar akuntansi dunia.

5.    Hasil analisis :   Hasil analisis dari jurnal ini menunjukkan bahwa salah satu usaha harmonisasi standar akuntansi yaitu untuk membuat perbedaan-perbedaan antar standar akuntansi di berbagai negara menjadi semakin kecil.

6.    Simpulan, Keterbatasan, Implikasi  :  Harmonisasi ini tidak harus menghilangkan standar akuntansi yang berlaku di setiap negara dan juga tidak menutup kemungkinan bahwa standar akuntansi internasional yang disusun oleh IASC diadopsi menjadi standar akuntansi nasional suatu negara. Menurut FASB, IASC bisa dimodifikasi menjadi organisasi ini atau membentuk organisasi baru atau memodifikasi FASB sendiri.



Nama Kelompok    : Adisti Pamula Siwi
                                 Arien Kurniawan
                                 Ayu Purnamasari
                                 Galih Permana
                                 Indah Nurlestari
                                 Winasari
                                 Yudhi Indra H
Kelas                        4EB20
 

Perpajakan Internasional

Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan tentang perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya adalah untuk membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk mengatur perilaku warga Negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Salah satu jenis pajak yang berlaku di Indonesia dan memiliki peranan penting dalam penerimaan negara adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang pertama kali diberlakukan pada tahun 1984 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983.
Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif di mana jenis pajak ini bisa dikenakan apabila syarat subjektif dan objektif terpenuhi bagi orang atau badan. Pada umumnya hampir semua orang atau badan di Indonesia akan memenihi syarat subjektif dan jika  orang atau badan ini memperoleh penghasilan maka syarat objektif juga terpenuhi.
Jika subjek pajak yang dikenakan PPh adalah WNI yang penghasilannya berasal dari Indonesia juga, maka tidak ada aspek pajak internasional dalam kasus ini. Namun demikian, karena definisi subjek pajak tidak dikaitkan dengan kewarganegaraan maka terdapat kemungkinan ada warga Negara asing atau badan asing yang dikenakan kewajiban Pajak Penghasilan di Indonesia. Dalam kasus seperti ini, Pajak Penghasilan sudah menyentuh aspek pajak internasional.
Aspek pajak internasional juga akan terjadi bila seorang WNI atau badan Indonesia menerima atau memperoleh penghasilan dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena Pajak Penghasilan Indonesia menerapkan prinsip worldwide income sehingga penghasilan dari luar negeri di atas juga merupakan objek Pajak Penghasilan Indonesia.
Dalam paragra-paragraf berikut saya coba untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008).
Subjek Pajak Luar Negeri
Dalam pengenaan Pajak Penghasilan, dikenal dua jenis subjek pajak yaitu subjek pajak dalam negeri (disingkat SPDN) dan subjek pajak luar negeri (SPLN). SPDN terdiri dari SPDN Orang Pribadi dan SPDN Badan.
SPDN Orang Pribadi adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Sementara itu SPDN Badan adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
SPLN adalah kebalikan dari SPDN dalam arti orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tidak berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan suatu tahun pajak tidak berada di Indonesia dan tidak mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
SPLN yang berbentuk badan adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Kedua kelompok di atas (SPLN Orang Pribadi dan SPLN Badan) baru bias disebut SPLN jika memdapatkan penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Nah, dilihat dari cara mendapatkan penghasilannya dari Indonesia, SPLN ini terbagi menjadi dua jenis. Pertama adalah SPLN yang mendapatkan penghasilan dengan memiliki tempat usaha tetap di Indonesia. Tempat usaha tetap ini biasa disebut Bentuk Usaha Tetap (BUT). Kedua, SPLN yang mendapatkan penghasilan dari Indonesia tidak melalui BUT di Indonesia. Kedua bentuk SPLN ini selanjutnya disebut SPLN BUT dan SPLN Non BUT.
Bentuk Usaha Tetap
Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh SPLN (baik orang pribdai atau badan) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Perwujudan BUT dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Penghasilan BUT
Penghasilan yang menjadi objek pajak bagi BUT, sebagaimana di dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh, terdiri dari tiga jenis yaitu ;
  1. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai.
  2. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia
  3. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud
Penghasilan BUT yang pertama adalah penghasilan sebenarnya BUT dari harta yang dimiliki atau dikuasainya di Inonesia. Penghasilan yang kedua merupakan penerapan force of attraction rule di mana walaupun penghasilan ini adalah penghasilan kantor pusat BUT di luar negeri, tetapi karena berasal dari penjualan atau pemberian jasa yang sejenis dengan yang dilakukan BUT, maka penghasilan ini ditarik sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.
Penghasilan yang ketiga merupakan penerapan atribusi karena hubungan efektif di mana jika kantor pusat BUT menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga, dividend dan royalty dari suatu perusahaan di Indonesia dan perusahaan ini mempunya hubungan efektif dengan BUT, maka penghasilan ini akan diatribusi juga kepada BUT di Inonesia. Tidak ada definisi kelas tentang hubungan efektif ini namun demikian, hubungan yang efektif ini bisa digambarkan sebagai hubungan ketergantungan atau hubungan yang saling menguntungkan antara BUT dan perusahaan yang memberikan dividen, bunga atau royalty kepada kantor pusat BUT.
Biaya BUT
Selain tunduk kepada ketentuan umum tentang pengurang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh, biaya bagi BUT juga diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (3) UU PPh.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU PPh, biaya-biaya yang terkait dengan penerapan force of attraction rule dan atribusi hubungan efektif dapat dibiayakan oleh BUT. Sementara itu berdasarkan  Pasal 5 ayat (3) biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Witholding Tax PPh Pasal 26
Penghasilan yang diterima atau diperoleh SPLN yang tanpa melalui BUT di Indonesia merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26. Dilihat dari cara pemotongannya, jenis penghasilan yang menjadi objek withholding tax PPh Pasal 26 ini adalah :
  1. Penghasilan Dengan Tarif 20% dari bruto. Penghasilan yang termasuk kelompok ini adalah dividen, bunga, sewa, royalty, imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, uang pension, premi swap dan keuntungan pembebasan hutang.
  2. Penghasilan Dengan Tarif 20% dari Perkiraan Penghasilan Neto. Termasuk dalam kelompok ini adalah capital gain atas penjualan atau pengalihan harta di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Termasuk dalam kelompok ini adalah penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) UU PPh.
  3. Penghasilan Branch Profit Tax dari BUT. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia
Prinsip Worlwide Income
Prinsip worldwide income pada UU PPh biss kita temui pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh di mana ditegaskan bahwa penghasilan yang menjadi objek PPh ini bisa berasal dari Indonesia maupun berasal dari luar Indonesia. Kata-kata “dari luar Indonesia” inilah yang menjadikan prinsip pengenaan PPh kepada SPDN menjadi berdimensi internasional.
Kredit Pajak Luar Negeri PPh Pasal 24
Terkait dengan prinsip worldwide income di atas, SPDN yang memperoleh penghasilan dari luar negeri akan dikenakan PPh di Indonesia. Negara tempat sumber penghasilan di atas juga kemungkinan besar akan mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negaranya. Dengan demikian, besar kemungkinan akan terjadi pengenaan pajak berganda di mana dua yurisdiksi perpajakan yang berbeda mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama yang diperoleh subjek pajak yang sama.
Untuk menghindari pengenaan pajak berganda ini, UU PPh secara unilateral memberikan solusi dengan adanya Pasal 24 UU PPh. Pasal ini mengatur bahwa atas pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak dalam negeri.Namun demikian, besarnya pajak yang bisa dikreditkan dibatasi tidak boleh melebihi penghitungan pajak terutang berdasarkan UU PPh.
Dalam menghitung besarnya maksmum kredit pajak PPh Pasal 24 ini, UU PPh menerapkan metode pembatasan tiap negara (per country limitation). Untuk itu maka penentuan Negara sumber penghasilan menjadi penting. Masalah ini diatur dalam Pasal 24 ayat (3) UU PPh di mana penentuan Negara sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut :
  1. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan
  2. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada
  3. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak
  4. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada
  5. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
  6. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada
  7. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada
  8. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Dengan tujuan untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda internasional dan juga untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance), diperlukan suatu perjanjian perpajakan dengan Negara lain.
Undang-undang PPh, telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk melakukan perjanjian dengan Negara lain.
Dalam penjelasan Pasal 32A UU PPh yang mengatur hal ini dijelaskan bahwa perjanjian perpajakan berlaku sebagai perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis). Dengan demikian, ketentuan dalam UU Pajak Penghasilan tidak berlaku jika di dalam perjanjian perpajakan diatur lain

Sumber :
http://nonnababybelle.blogspot.com/2012/05/perpajakan-international-aspek.html
http://adithpurnama04.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false.html

PENETAPAN HARGA TRANSFER


PENGERTIAN HARGA TRANSFER
Harga transfer dalam arti luas adalah harga barang dan jasa yang ditransfer antar pusat pertanggungjawaban dalam suatu organisasi tanpa memandang bentuk pusat pertanggungjawaban. Dalam arti sempit, harga transfer adalah harga barang atau jasa yang ditransfer antar pusat laba atau setidak-tidaknya salah satu dari pusat pertanggungjawaban merupakan pusat laba. Untuk pembahasan lebih lanjut, maka harga transfer ini digunakan untuk kepentingan penilaian kemampuan laba divisi.
Tujuan yang diinginkan dalam harga transfer :
1.      Memaksimalkan penghasilan global
2.      Mengamankan posisi kompetitif anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar
3.      Mengevaluasi kinerja anak/cabang perusahaan mancanegara
4.      Menghindarkan pengendalian devisa
5.      Mengatrol kredibilitas asosiasi
6.      Mengurangi risiko moneter
7.      Mengatur arus kas anak/cabang yang memadai
8.      Membina hubungan baik dengan admintrasi setempat
9.      Mengurangi beban pengenaan pajak dan bea masuk
10.  Mengurangi risiko pengambil alihan oleh pemerintah.
PENENTUAN HARGA TRANSFER INTERNASIONAL : VARIABEL YANG RUMIT
Kebutuhan untuk penentuan harga transfer muncul apabila barang dan jasa dipertukaran di antara unit-unit organisasi yang sama. Ada beberapa variabel dalam mementukan harga transfer:
1.      Faktor Pajak
Harga transaksi yang wajar merupakan harga yang akan diterima oleh pihak-pihak tidak berhubungan istimewa untuk barang-barng yang sama atau serupa dalam keadaan yang sama persis atau serupa. Metode penentuan harga transaksi wajar yang dapat diterima adalah:
a)      Metode penentuan harga tidak terkontrol yang sebanding
b)      Metode penentuan harga jual kembali
c)      Metode penentuan biaya plus dan
d)     Metode harga lainnya
2.      Faktor Tarif
Tarif yang dikenakan untuk barang-barang impor juga mempengaruhi kebijakan penentuan harga transfer perusahaan multinasional. Sebagai tambahan atas keseimbangan yang diidentifikasikan, perusahaan multinasional harus mempertimbangkan biaya dan manfaat tambahan, baik internal maupun eksternal. Tarif pajak tinggi yang dibayarkan oleh importer akan menghasilkan dasar pajak penghasilan yang lebih rendah.
3.      Faktor Daya Saing
Demikian juga halnya, harga transfer yang lebih rendah dapat digunakan untuk melindungi operasi yang sedang berjalan dari pengaruh kompetisi luar negeri yang semakin mengikat pada pasar setempat atau pasar lainnya. Pertibangan daya saing seperti itu harus diseimbangkan terhadap banyak kerugian berakibat sebaliknya. Harga transfer untuk alasan-alasan kompetitif dapat mengundang tindakan anti trust oleh pemerintah.
4.      Risiko Lingkungan
Apabila faktor daya saing luar negeri dapat menjamin harga transfer yang rendah dan dibebankan kepada anak perusahaan luar negeri, resiko atas harga inflasi yng sangat tinggi dapat mengakibatkan hal yang sebaliknya. Inflasi mengurangi daya beli uang tunai yang dimiliki perusahaan. Harga transfer yang tinggi terhadap barang atau jasa yang diberikan kepada anak perusahaann yang menghadapi inflasi tinggi dapat mengalihkan kas dalam jumlah yang sangat besar dari anak perusahaan tersebut.
5.      Faktor Evaluasi Kinerja
Kibijakan harga transfer juga dipengaruhi oleh pengaruh mereka terhadap perilaku manajemen dan sering kali merupakan penentu kinerja perusahaan yang utama.
6.      Kontribusi Akuntansi
Para akuntan manajemen dapat memainkan peranan yang signifikan dalam menghiting kesibangan dalam strategi penentuan harga transfer. tantangan yang dihadapi adlah mempertahankan perpseektif global pada saat melakukan pemetaan manfaat dan biaya yang berkaitan dengan keputusan penentu harga.
METODOLOGI PENENTUAN HARGA TRANSFER
Dalam suatu dunia dengan harga transfer yang sangat kompetitif, tidak akan menjadi masalah besar ketika hendak menetapkan harga transfer sumber daya dan jasa antar perusahaan. Namun demikian, jarang sekali terdapat pasar eksternal yang kompetitif untuk produk-produk yang ditransfer antar entitas yang berhubungan istimewa tersebut. Masalah penentuan ini sangat terasa dalam tingkat internasional, karena konsep akuntansi biaya ini berbea dari satu negara ke negara lainnya.
1.      Harga Versus Biaya Versus
Sistem harga transfer berbasis biaya dapat menangulangi kebanyakan kekurangan ini.
sistem ini (1) sederhana digunakan, (2) didasarkan pada data yang langsung tersedia, (3) mudah untuk dijelaskan kepada otoritas pajak, (4) merupakan hal yang sering dilakukan, sehingga dapat menghindari terjadinya fiksi internal yang sering terjadi apabila sistem arbitrer digunakan.
2.      Prinsip Wajar
Harga transfer antarperusahaan dengan mengadaikan transaksi itu terjadi antara pihak-pihak yang tidak berhubungan istimewa dipasar yang kompetitif.
3.      Metode Harga Tidak Terkontrol yang Setara
Metode ini tepat digunakan jika barang tersedia dalam jumlah cukup sehingga penjualan yang dikonrtol pada dasarnya sebanding dengan penjualan  pada pasar terbuka.
4.      Metode Transaksi Tidak Terkontrol yang Setara
Diterapkan untuk pengalihan aktiva tidak berwujud. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasikan tingkat royalti acuan dengan mengacu pada transaksi yang tidak terkontrol dimana aktiva tidak berwujud yang sama dialihkan.
5.      Metode Harga Jual Kembali
Metode ini menghitung harga transaksi yang wajar yang diawali dengan harga yang dikenakan atas penjualan barang yang dimaksud kepada pembeli yang idependen.
6.      Metode Penentuan Biaya Plus
Metedo ini secara khusus berguna apabila barang semi jadi dialihkan antarperusahaan afiliasi luar negeri, atau jika satu entitas merupakan sub kontraktor bagi perusahaan lain.
7.      Metode Laba Sebanding
Metode ini umumnya memerlukan penyesuaian atas perbedaan-perbedaan yang ada antara pihak yang dibandingkan. Faktor-faktor yang memerlukan penyesuaian tersebut adlah kodisi penjualan yang berbeda, perbedaan biaya modal, resiko nilai tukar valuta asing, dan resiko lainnya dan perbedaan dalam praktik pengukuran akuntansi.
8.      Metode Pemisahan Laba
Metode ini digunakan jika acuan produk atau pasar tidak tersedia. Pada dasarnya metode ini mecakup pembagian laba yang dihasilkan melalui transaksi dengan pihak berhubungan istimewa, yaitu antara perusahaan afiliasi berdasarkan cara yang wajar.
9.      Metode Penentuan Harga Lainnya
Menurut OECD : Harus diakui bahwa harga yang wajar dalam banyak kasus tidak dapat ditetapkan dengan tepat dan bahwa dalam situasi seperti itu akan dipandang perlu untuk mencari perkiraan wajar yang mendekatinya. Seringkali, akan lebih bermanfaat untuk perhiyungan lebih dari satu metode untuk mendapatkan perkiraan atas harga yang memuaskan dengan memperhatikan bukti-bukti yang tersedia.
10.  Perjanjian Penentuan Harga Lanjutan
Mekanisme yang digunakan oleh perusahaan multinasional dan otoritas pajak untuk secara sukarela menegosiasikan metodelogi penentuan harga transfer yang disepakati dan mengikat kedua belah pihak.
Sumber :
Choi D.S. Frederick & Meek K. Gary. 2005. Akuntansi Internasional, Edisi 5 Buku 2. Jakarta: Salemba Empat
http://dellyherdiana.blogspot.com/2014/04/penetapan-harga-transfer_6.html