Indonesia
sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan tentang
perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya adalah
untuk membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang dan jasa
publik yang diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak
juga berfungsi untuk mengatur perilaku warga Negara untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.
Salah
satu jenis pajak yang berlaku di Indonesia dan memiliki peranan penting dalam
penerimaan negara adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang pertama kali diberlakukan
pada tahun 1984 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983.
Pajak
Penghasilan adalah pajak subjektif di mana jenis pajak ini bisa dikenakan
apabila syarat subjektif dan objektif terpenuhi bagi orang atau badan. Pada
umumnya hampir semua orang atau badan di Indonesia akan memenihi syarat
subjektif dan jika orang atau badan ini memperoleh penghasilan maka
syarat objektif juga terpenuhi.
Jika
subjek pajak yang dikenakan PPh adalah WNI yang penghasilannya berasal dari
Indonesia juga, maka tidak ada aspek pajak internasional dalam kasus ini. Namun
demikian, karena definisi subjek pajak tidak dikaitkan dengan kewarganegaraan
maka terdapat kemungkinan ada warga Negara asing atau badan asing yang
dikenakan kewajiban Pajak Penghasilan di Indonesia. Dalam kasus seperti ini,
Pajak Penghasilan sudah menyentuh aspek pajak internasional.
Aspek
pajak internasional juga akan terjadi bila seorang WNI atau badan Indonesia
menerima atau memperoleh penghasilan dari luar negeri. Hal ini disebabkan
karena Pajak Penghasilan Indonesia menerapkan prinsip worldwide income sehingga
penghasilan dari luar negeri di atas juga merupakan objek Pajak Penghasilan
Indonesia.
Dalam
paragra-paragraf berikut saya coba untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang Pajak Penghasilan (UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008).
Subjek
Pajak Luar Negeri
Dalam
pengenaan Pajak Penghasilan, dikenal dua jenis subjek pajak yaitu subjek pajak
dalam negeri (disingkat SPDN) dan subjek pajak luar negeri (SPLN). SPDN terdiri
dari SPDN Orang Pribadi dan SPDN Badan.
SPDN
Orang Pribadi adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia. Sementara itu SPDN Badan adalah badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia.
SPLN
adalah kebalikan dari SPDN dalam arti orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, tidak berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan suatu tahun pajak
tidak berada di Indonesia dan tidak mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia.
SPLN
yang berbentuk badan adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia.
Kedua
kelompok di atas (SPLN Orang Pribadi dan SPLN Badan) baru bias disebut SPLN
jika memdapatkan penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Nah, dilihat dari
cara mendapatkan penghasilannya dari Indonesia, SPLN ini terbagi menjadi dua
jenis. Pertama adalah SPLN yang mendapatkan penghasilan dengan memiliki tempat
usaha tetap di Indonesia. Tempat usaha tetap ini biasa disebut Bentuk Usaha
Tetap (BUT). Kedua, SPLN yang mendapatkan penghasilan dari Indonesia tidak
melalui BUT di Indonesia. Kedua bentuk SPLN ini selanjutnya disebut SPLN BUT
dan SPLN Non BUT.
Bentuk
Usaha Tetap
Bentuk
usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh SPLN (baik orang
pribdai atau badan) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia.
Suatu
bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of
business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga
mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan
otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha
melalui internet.
Tempat
usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Perwujudan
BUT dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang, kantor perwakilan, gedung
kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja
pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,
atau kehutanan, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, proyek konstruksi,
instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh
pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, orang atau badan yang bertindak selaku
agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahan asuransi
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima
premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan komputer, agen
elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh
penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui
internet.
Penghasilan
BUT
Penghasilan
yang menjadi objek pajak bagi BUT, sebagaimana di dalam Pasal 5 ayat (1) UU
PPh, terdiri dari tiga jenis yaitu ;
- penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai.
- penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia
- penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud
Penghasilan
BUT yang pertama adalah penghasilan sebenarnya BUT dari harta yang dimiliki
atau dikuasainya di Inonesia. Penghasilan yang kedua merupakan penerapan force
of attraction rule di mana walaupun penghasilan ini adalah penghasilan
kantor pusat BUT di luar negeri, tetapi karena berasal dari penjualan atau
pemberian jasa yang sejenis dengan yang dilakukan BUT, maka penghasilan ini
ditarik sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.
Penghasilan
yang ketiga merupakan penerapan atribusi karena hubungan efektif di mana jika
kantor pusat BUT menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga, dividend
dan royalty dari suatu perusahaan di Indonesia dan perusahaan ini mempunya
hubungan efektif dengan BUT, maka penghasilan ini akan diatribusi juga kepada
BUT di Inonesia. Tidak ada definisi kelas tentang hubungan efektif ini namun
demikian, hubungan yang efektif ini bisa digambarkan sebagai hubungan
ketergantungan atau hubungan yang saling menguntungkan antara BUT dan
perusahaan yang memberikan dividen, bunga atau royalty kepada kantor pusat BUT.
Biaya
BUT
Selain
tunduk kepada ketentuan umum tentang pengurang sebagaimana diatur dalam Pasal 6
dan Pasal 9 UU PPh, biaya bagi BUT juga diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal
5 ayat (3) UU PPh.
Berdasarkan
Pasal 5 ayat (2) UU PPh, biaya-biaya yang terkait dengan penerapan force of
attraction rule dan atribusi hubungan efektif dapat dibiayakan oleh BUT.
Sementara itu berdasarkan Pasal 5 ayat (3) biaya administrasi kantor
pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan
usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Witholding
Tax PPh Pasal 26
Penghasilan
yang diterima atau diperoleh SPLN yang tanpa melalui BUT di Indonesia merupakan
objek pemotongan PPh Pasal 26. Dilihat dari cara pemotongannya, jenis
penghasilan yang menjadi objek withholding tax PPh Pasal 26 ini adalah :
- Penghasilan Dengan Tarif 20% dari bruto. Penghasilan yang termasuk kelompok ini adalah dividen, bunga, sewa, royalty, imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, uang pension, premi swap dan keuntungan pembebasan hutang.
- Penghasilan Dengan Tarif 20% dari Perkiraan Penghasilan Neto. Termasuk dalam kelompok ini adalah capital gain atas penjualan atau pengalihan harta di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Termasuk dalam kelompok ini adalah penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) UU PPh.
- Penghasilan Branch Profit Tax dari BUT. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia
Prinsip
Worlwide Income
Prinsip
worldwide income pada UU PPh biss kita temui pada Pasal 4 ayat (1) UU
PPh di mana ditegaskan bahwa penghasilan yang menjadi objek PPh ini bisa
berasal dari Indonesia maupun berasal dari luar Indonesia. Kata-kata “dari luar
Indonesia” inilah yang menjadikan prinsip pengenaan PPh kepada SPDN menjadi
berdimensi internasional.
Kredit
Pajak Luar Negeri PPh Pasal 24
Terkait
dengan prinsip worldwide income di atas, SPDN yang memperoleh
penghasilan dari luar negeri akan dikenakan PPh di Indonesia. Negara tempat
sumber penghasilan di atas juga kemungkinan besar akan mengenakan pajak atas
penghasilan yang bersumber dari negaranya. Dengan demikian, besar kemungkinan
akan terjadi pengenaan pajak berganda di mana dua yurisdiksi perpajakan yang
berbeda mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama yang diperoleh subjek
pajak yang sama.
Untuk
menghindari pengenaan pajak berganda ini, UU PPh secara unilateral memberikan
solusi dengan adanya Pasal 24 UU PPh. Pasal ini mengatur bahwa atas pajak yang
terutang atau dibayar di luar negeri dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak dalam
negeri.Namun demikian, besarnya pajak yang bisa dikreditkan dibatasi tidak
boleh melebihi penghitungan pajak terutang berdasarkan UU PPh.
Dalam
menghitung besarnya maksmum kredit pajak PPh Pasal 24 ini, UU PPh menerapkan
metode pembatasan tiap negara (per country limitation). Untuk itu maka
penentuan Negara sumber penghasilan menjadi penting. Masalah ini diatur dalam
Pasal 24 ayat (3) UU PPh di mana penentuan Negara sumber penghasilan ditentukan
sebagai berikut :
- penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan
- penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada
- penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak
- penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada
- penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
- penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada
- keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada
- keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada
Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Dengan
tujuan untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda internasional dan juga
untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance), diperlukan
suatu perjanjian perpajakan dengan Negara lain.
Undang-undang
PPh, telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk melakukan perjanjian
dengan Negara lain.
Dalam
penjelasan Pasal 32A UU PPh yang mengatur hal ini dijelaskan bahwa perjanjian
perpajakan berlaku sebagai perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis).
Dengan demikian, ketentuan dalam UU Pajak Penghasilan tidak berlaku jika di
dalam perjanjian perpajakan diatur lainSumber :
http://nonnababybelle.blogspot.com/2012/05/perpajakan-international-aspek.html
http://adithpurnama04.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar