Di medio bulan November 2013 lalu,
jauh sebelum hingar- bingar kampanye Pilres 2014 dengan segala isu, gaya
kampanye baik yang negatif maupun positif , saya berbincang- bincang
dengan seorang teman yang baru saja menjalankan tugas keliling ke
beberapa wilayah di Indonesia, mulai pelosok Aceh, Palembang, Lampung,
hingga di Kalimantan, Sulawesi dan juga pedalaman Papua. Pekerjaan
teman saya tersebut adalah konsultan pengembangan masyarakat
spesialisasi pengembangan ekonomi kecil dan kreatif. Teman
saya tersebut bercerita bagaimana gambar, spanduk dan baju kotak- kotak
khas Jokowi bertebaran di daerah- daerah yang dikunjunginya tersebut.
Daerah- daerah terpencil yang nota bene jauh dari hingar- binger
politik dan secara politik mereka umumnya apatis dan top down
menurut teman saya begitu aktif dalam membincangkan sosok Jokowi yang
ketika itu masih menjabat gubernur DKI. Menurut teman saya, fenomena
aktifnya masayarakat tersebut, yang nota bene di pedalaman, jauh dari
nalar politik, jarang ditemui . teman saya sampai tidak percaya kalau
Jokowi di daerah- derah pedalam tersebut begitu popular, begitu disukai
dan menjadi perbincangan. Ketika bertemu dan mengobrol dengan mereka,
teman saya bahkan sampai ditanya oleh mereka bagaimana caranya untuk
bisa bertemu dengan Jokowi di Jakarta, sekedar hanya untuk bertemu,
salaman dan melihat wajahnya. Jujur, Sederhana dan Merakyat Ketika
teman saya menanyakan apa alasan mereka begitu sukarela memasang umbul-
umbul bergambar Jokowi dan begitu antusiasnya mereka untuk bertemu dan
bertatap muka dengan Jokowi, mereka kompak menjawab bahwa Jokowi adalah
tipe pemimpin ideal mereka. Bagi mereka pemimpin adalah sosok seperti
Jokowi yang bergaya seperti masyarakat kebanyakan, tanpa jarak dan
hambatan birokrasi dengan rakyat, tegas dan punya visi namun disisi lain
dalam menyelesaikan masalah- masalah rakyat tidak mengggunakan powernya
sebagai penguasa dan tidak semena-mena atas nama undang- undang/ perda
dalam pelaksanaan kebijakannya. Namun mau berkomunikasi dengan rakyat
dan juga jujur terhadap rakyat. Bagi mereka tipe pemimpin seperti itulah
yang ideal ditengah- tengah perilaku dan moral elit dan pemimpin
politik yang bermewah- mewah, korup, berjarak dengan rakyat dan
cenderung mementingkan kepentingan dan keinginannya sendiri tanpa ada
komunikasi timbal balik dengan rakyat dan tidak menunjukan gaya dan
perilaku empati ditengah situasi masyarakat. Kebutuhan Model Pemimpin ala Jokowi Ketika
saya mendapat tugas dari kantor untuk di beberapa wilayah Indonesia,
yaitu di Masohi di Ambon, di daerah Batu Betumpang di Bangka Belitung,
di beberapa wilayah Sulawesi, di daerah Kalimantan, saya juga menemukan
fenomena yang sama ditemui oleh teman saya. Dalam sebuah pertemuan
tidak sengaja disebuah warung kopi di pedalaman sebuah kabupaten di
Pulau Seram misalnya, saya menemukan begitu antusiasnya masyarakat dalam
membicarakan Jokowi. Tampak dari mata dan ekspresi mereka kekaguman
akan sosok Jokowi. Menurut mereka, Jokowi adalah tipe pemimpin ideal
meraka. Sosok pemimpin yang tidak jumawa dengan pangkatnya, tidak
menghargai masyarakat yang dipimpinnnya, sosok yang mau mendengar namun
juga tegas dalam menjalankan visinya, serta sosok yang sederhana dalam
bergaya dan bersikap. Sosok pemimpin yang mereka idam- idamkan sejak
dahulu ditengah- tengah pola kepemimpinan ala adipati yang feodalistik,
pola kepemimpinan yang elitis dan bermewah- mewah. Bagi mereka Jokowi
adalah sosok yang pemimpin yang mengerti bahwa masyarakat masih banyak
yang belum hidup mapan, belum banyak tersentuh pembangunan dan
masyarakat adalah raja/ konsumen dari pemimpinnya yang harus dipuaskan.
Saya melihat fenomena
tersebut merupakan puncak keinginan rakyat kebutuhan akan model
kepemimpinan yang berbeda dengan era sebelumnya yaitu kepemimpinan ala
Jokowi. Dimana seiring dengan munculnya pola kepemimpinan baru yang
ditunjukan oleh Jokowi, masyarakat kemudian aktif berpartisipasi dan
dilakukan secara sukarela. Sebuah bentuk partisipasi politik yang jarang
ada dalam masyarakat Indonesia yang partisipasinya selama ini cenderung
disusun dari top down, digerakan oleh uang atau kekuasaan dan
partisipasi politik yang digerakan oleh elemen luar. Kebutuhan dan
kerinduan masyarakat akan sosok Jokowi sebagai pemimpin mereka yang
membuat mereka semangat dalam membicarakan, mendukung , merindukan dan
setuju apabila Jokowi mencalonkan diri menjadi pemimpin yang lebih
tinggi (presiden) Jokowi dan Pilres 2014 Kini
Jokowi telah mencalonkan diri menjadi presiden Republik Indonesia yang
ketujuh. Dan sebagaimana dilihat di media, ketika Jokowi berkunjung ke
daerah- daerah tersebut, dukungan dan antusiasme masyarakat begitu kuat
dan membludak. Melihat animo dan kuatnya dukungan terhadap Jokowi di
daerah- daerah pedalaman di seluruh Indonesiadi era kampanye Pilpres ini
menjadi kuat keyakinan dan prediksi saya bahwa memang masyarakat
membutuhkan sosok pemimpin yang seperti Jokowi, sosok yang selama ini
dibutuhkan oleh masayarakat Indonesia ditengah- tengah kebuntuan,
kebosanan, kemuakan masyarakat akan perilaku pemimpin- pemimpin
sebelumnya yang jauh dari pikiran dan perilaku untuk membangun dan
mensejahterakan rakyat. Jokowi adalah harapan, pemimpin ideal dan solusi masalah kebangsaan mereka.
Sabtu, 28 Juni 2014
Review Jurnal (Akuntansi Internasional)
1
Identitas Artikel
a. Judul :
AKUNTANSI INTERNASIONAL : HARMONISASI VERSUS
STANDARDISASI
c. Jurnal :
Jurnal Akuntansi & Keuangan
d. Volume
: 1
e. Tahun :
1999
f. Nomor : 2
g. Halaman:
144-161
2
Pendahuluan
a. Motivasi
: Kecenderungan meningkatnya
globalisasi di bidang ekonomi semakin tampak dengan adanya
kesepakatan-kesepakatan antar negara dalam satu region tertentu, seperti
European Union (EU), North American Free Trade Agreement (NAFTA), Asia-Pacific
Economic Cooperation (APEC). Indonesia sendiri merupakan salah satu dari
delapan belas negara anggota APEC.
b. Tujuan
: Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui langkah lembaga-lembaga dunia dalam mengatasi perbedaan-perbedaan
antar standar akuntansi di berbagai negara.
3
Tinjauan Pustaka &
Hipotesis
a. Tinjauan
Pustaka :
·
Financial Accounting
Standards Board (1999), Summaries and Status of all FASB Statements,
http://www.rutgers.edu/Accounting/raw/fasb/public/index.html,September 1999.
·
______ (1999),
International Accounting Standard Setting: A Vision for the Future- Report of
the FASB , http://www.rutgers.edu/Accounting/raw/fasb , September 1999.
·
International
Accounting Standards Committee (1999), List of Current IASC Standards, http://www.iasc.org.uk/frame/cen2_1.htm
·
Iqbal, M. Zafar, Trini
U. Melcher dan Amin E. Elmallah (1997), International Accounting : A Global
Perspective, Cincinnati, Ohio: South-Western College Publishing Nobes, Christoper
dan Robert Parker (1995), Comparative International Accounting, Edisi keempat,
London: Prentice Hall International (UK) Limited
·
Radebaugh, Lee H., dan
Sidney J. Gray (1997), International Accounting and Multinational Enterprises,
Edisi keempat, Toronto, Canada: John Wiley & Sons, Inc.
b. Hipotesis
: Harmonisasi ini tidak harus
menghilangkan standar akuntansi yang berlaku di setiap negara.
4. Metode
Penelitian
a. Pengukuran
variabel : -
b. Metode
analisis : Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
deskriptif dimana memberikan gambaran mengenai fenomena yang sesungguhnya
terjadi dan menggunakan pendekatan kualitatif.
c. Objek
: Lembaga-lembaga harmonisasi standar
akuntansi dunia.
5. Hasil
analisis : Hasil analisis dari jurnal
ini menunjukkan bahwa salah satu usaha harmonisasi standar akuntansi yaitu
untuk membuat perbedaan-perbedaan antar standar akuntansi di berbagai negara
menjadi semakin kecil.
6. Simpulan,
Keterbatasan, Implikasi : Harmonisasi ini tidak harus menghilangkan
standar akuntansi yang berlaku di setiap negara dan juga tidak menutup
kemungkinan bahwa standar akuntansi internasional yang disusun oleh IASC
diadopsi menjadi standar akuntansi nasional suatu negara. Menurut FASB, IASC
bisa dimodifikasi menjadi organisasi ini atau membentuk organisasi baru atau
memodifikasi FASB sendiri.
Nama
Kelompok : Adisti Pamula Siwi
Arien Kurniawan
Ayu Purnamasari
Galih Permana
Indah Nurlestari
Winasari
Yudhi Indra H
Kelas 4EB20
Perpajakan Internasional
Indonesia
sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan tentang
perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya adalah
untuk membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang dan jasa
publik yang diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak
juga berfungsi untuk mengatur perilaku warga Negara untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.
Salah
satu jenis pajak yang berlaku di Indonesia dan memiliki peranan penting dalam
penerimaan negara adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang pertama kali diberlakukan
pada tahun 1984 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983.
Pajak
Penghasilan adalah pajak subjektif di mana jenis pajak ini bisa dikenakan
apabila syarat subjektif dan objektif terpenuhi bagi orang atau badan. Pada
umumnya hampir semua orang atau badan di Indonesia akan memenihi syarat
subjektif dan jika orang atau badan ini memperoleh penghasilan maka
syarat objektif juga terpenuhi.
Jika
subjek pajak yang dikenakan PPh adalah WNI yang penghasilannya berasal dari
Indonesia juga, maka tidak ada aspek pajak internasional dalam kasus ini. Namun
demikian, karena definisi subjek pajak tidak dikaitkan dengan kewarganegaraan
maka terdapat kemungkinan ada warga Negara asing atau badan asing yang
dikenakan kewajiban Pajak Penghasilan di Indonesia. Dalam kasus seperti ini,
Pajak Penghasilan sudah menyentuh aspek pajak internasional.
Aspek
pajak internasional juga akan terjadi bila seorang WNI atau badan Indonesia
menerima atau memperoleh penghasilan dari luar negeri. Hal ini disebabkan
karena Pajak Penghasilan Indonesia menerapkan prinsip worldwide income sehingga
penghasilan dari luar negeri di atas juga merupakan objek Pajak Penghasilan
Indonesia.
Dalam
paragra-paragraf berikut saya coba untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang Pajak Penghasilan (UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008).
Subjek
Pajak Luar Negeri
Dalam
pengenaan Pajak Penghasilan, dikenal dua jenis subjek pajak yaitu subjek pajak
dalam negeri (disingkat SPDN) dan subjek pajak luar negeri (SPLN). SPDN terdiri
dari SPDN Orang Pribadi dan SPDN Badan.
SPDN
Orang Pribadi adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia. Sementara itu SPDN Badan adalah badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia.
SPLN
adalah kebalikan dari SPDN dalam arti orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, tidak berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan suatu tahun pajak
tidak berada di Indonesia dan tidak mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia.
SPLN
yang berbentuk badan adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia.
Kedua
kelompok di atas (SPLN Orang Pribadi dan SPLN Badan) baru bias disebut SPLN
jika memdapatkan penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Nah, dilihat dari
cara mendapatkan penghasilannya dari Indonesia, SPLN ini terbagi menjadi dua
jenis. Pertama adalah SPLN yang mendapatkan penghasilan dengan memiliki tempat
usaha tetap di Indonesia. Tempat usaha tetap ini biasa disebut Bentuk Usaha
Tetap (BUT). Kedua, SPLN yang mendapatkan penghasilan dari Indonesia tidak
melalui BUT di Indonesia. Kedua bentuk SPLN ini selanjutnya disebut SPLN BUT
dan SPLN Non BUT.
Bentuk
Usaha Tetap
Bentuk
usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh SPLN (baik orang
pribdai atau badan) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia.
Suatu
bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of
business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga
mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan
otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha
melalui internet.
Tempat
usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Perwujudan
BUT dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang, kantor perwakilan, gedung
kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja
pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,
atau kehutanan, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, proyek konstruksi,
instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh
pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, orang atau badan yang bertindak selaku
agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahan asuransi
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima
premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan komputer, agen
elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh
penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui
internet.
Penghasilan
BUT
Penghasilan
yang menjadi objek pajak bagi BUT, sebagaimana di dalam Pasal 5 ayat (1) UU
PPh, terdiri dari tiga jenis yaitu ;
- penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai.
- penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia
- penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud
Penghasilan
BUT yang pertama adalah penghasilan sebenarnya BUT dari harta yang dimiliki
atau dikuasainya di Inonesia. Penghasilan yang kedua merupakan penerapan force
of attraction rule di mana walaupun penghasilan ini adalah penghasilan
kantor pusat BUT di luar negeri, tetapi karena berasal dari penjualan atau
pemberian jasa yang sejenis dengan yang dilakukan BUT, maka penghasilan ini
ditarik sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.
Penghasilan
yang ketiga merupakan penerapan atribusi karena hubungan efektif di mana jika
kantor pusat BUT menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga, dividend
dan royalty dari suatu perusahaan di Indonesia dan perusahaan ini mempunya
hubungan efektif dengan BUT, maka penghasilan ini akan diatribusi juga kepada
BUT di Inonesia. Tidak ada definisi kelas tentang hubungan efektif ini namun
demikian, hubungan yang efektif ini bisa digambarkan sebagai hubungan
ketergantungan atau hubungan yang saling menguntungkan antara BUT dan
perusahaan yang memberikan dividen, bunga atau royalty kepada kantor pusat BUT.
Biaya
BUT
Selain
tunduk kepada ketentuan umum tentang pengurang sebagaimana diatur dalam Pasal 6
dan Pasal 9 UU PPh, biaya bagi BUT juga diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal
5 ayat (3) UU PPh.
Berdasarkan
Pasal 5 ayat (2) UU PPh, biaya-biaya yang terkait dengan penerapan force of
attraction rule dan atribusi hubungan efektif dapat dibiayakan oleh BUT.
Sementara itu berdasarkan Pasal 5 ayat (3) biaya administrasi kantor
pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan
usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Witholding
Tax PPh Pasal 26
Penghasilan
yang diterima atau diperoleh SPLN yang tanpa melalui BUT di Indonesia merupakan
objek pemotongan PPh Pasal 26. Dilihat dari cara pemotongannya, jenis
penghasilan yang menjadi objek withholding tax PPh Pasal 26 ini adalah :
- Penghasilan Dengan Tarif 20% dari bruto. Penghasilan yang termasuk kelompok ini adalah dividen, bunga, sewa, royalty, imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, uang pension, premi swap dan keuntungan pembebasan hutang.
- Penghasilan Dengan Tarif 20% dari Perkiraan Penghasilan Neto. Termasuk dalam kelompok ini adalah capital gain atas penjualan atau pengalihan harta di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Termasuk dalam kelompok ini adalah penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) UU PPh.
- Penghasilan Branch Profit Tax dari BUT. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia
Prinsip
Worlwide Income
Prinsip
worldwide income pada UU PPh biss kita temui pada Pasal 4 ayat (1) UU
PPh di mana ditegaskan bahwa penghasilan yang menjadi objek PPh ini bisa
berasal dari Indonesia maupun berasal dari luar Indonesia. Kata-kata “dari luar
Indonesia” inilah yang menjadikan prinsip pengenaan PPh kepada SPDN menjadi
berdimensi internasional.
Kredit
Pajak Luar Negeri PPh Pasal 24
Terkait
dengan prinsip worldwide income di atas, SPDN yang memperoleh
penghasilan dari luar negeri akan dikenakan PPh di Indonesia. Negara tempat
sumber penghasilan di atas juga kemungkinan besar akan mengenakan pajak atas
penghasilan yang bersumber dari negaranya. Dengan demikian, besar kemungkinan
akan terjadi pengenaan pajak berganda di mana dua yurisdiksi perpajakan yang
berbeda mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama yang diperoleh subjek
pajak yang sama.
Untuk
menghindari pengenaan pajak berganda ini, UU PPh secara unilateral memberikan
solusi dengan adanya Pasal 24 UU PPh. Pasal ini mengatur bahwa atas pajak yang
terutang atau dibayar di luar negeri dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak dalam
negeri.Namun demikian, besarnya pajak yang bisa dikreditkan dibatasi tidak
boleh melebihi penghitungan pajak terutang berdasarkan UU PPh.
Dalam
menghitung besarnya maksmum kredit pajak PPh Pasal 24 ini, UU PPh menerapkan
metode pembatasan tiap negara (per country limitation). Untuk itu maka
penentuan Negara sumber penghasilan menjadi penting. Masalah ini diatur dalam
Pasal 24 ayat (3) UU PPh di mana penentuan Negara sumber penghasilan ditentukan
sebagai berikut :
- penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan
- penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada
- penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak
- penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada
- penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
- penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada
- keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada
- keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada
Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Dengan
tujuan untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda internasional dan juga
untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance), diperlukan
suatu perjanjian perpajakan dengan Negara lain.
Undang-undang
PPh, telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk melakukan perjanjian
dengan Negara lain.
Dalam
penjelasan Pasal 32A UU PPh yang mengatur hal ini dijelaskan bahwa perjanjian
perpajakan berlaku sebagai perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis).
Dengan demikian, ketentuan dalam UU Pajak Penghasilan tidak berlaku jika di
dalam perjanjian perpajakan diatur lainSumber :
http://nonnababybelle.blogspot.com/2012/05/perpajakan-international-aspek.html
http://adithpurnama04.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false.html
PENETAPAN HARGA TRANSFER
PENGERTIAN HARGA TRANSFER
Harga
transfer dalam arti luas adalah harga barang dan jasa yang ditransfer antar
pusat pertanggungjawaban dalam suatu organisasi tanpa memandang bentuk pusat
pertanggungjawaban. Dalam arti sempit, harga transfer adalah harga barang atau
jasa yang ditransfer antar pusat laba atau setidak-tidaknya salah satu dari
pusat pertanggungjawaban merupakan pusat laba. Untuk pembahasan lebih lanjut,
maka harga transfer ini digunakan untuk kepentingan penilaian kemampuan laba
divisi.
Tujuan
yang diinginkan dalam harga transfer :
1. Memaksimalkan
penghasilan global
2. Mengamankan
posisi kompetitif anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar
3. Mengevaluasi
kinerja anak/cabang perusahaan mancanegara
4. Menghindarkan
pengendalian devisa
5. Mengatrol
kredibilitas asosiasi
6. Mengurangi
risiko moneter
7. Mengatur
arus kas anak/cabang yang memadai
8. Membina
hubungan baik dengan admintrasi setempat
9. Mengurangi
beban pengenaan pajak dan bea masuk
10. Mengurangi
risiko pengambil alihan oleh pemerintah.
PENENTUAN HARGA TRANSFER
INTERNASIONAL : VARIABEL YANG RUMIT
Kebutuhan
untuk penentuan harga transfer muncul apabila barang dan jasa dipertukaran di
antara unit-unit organisasi yang sama. Ada beberapa variabel dalam mementukan
harga transfer:
1.
Faktor
Pajak
Harga
transaksi yang wajar merupakan harga yang akan diterima oleh pihak-pihak tidak
berhubungan istimewa untuk barang-barng yang sama atau serupa dalam keadaan
yang sama persis atau serupa. Metode penentuan harga transaksi wajar yang dapat
diterima adalah:
a) Metode
penentuan harga tidak terkontrol yang sebanding
b) Metode
penentuan harga jual kembali
c) Metode
penentuan biaya plus dan
d) Metode
harga lainnya
2.
Faktor
Tarif
Tarif
yang dikenakan untuk barang-barang impor juga mempengaruhi kebijakan penentuan
harga transfer perusahaan multinasional. Sebagai tambahan atas keseimbangan
yang diidentifikasikan, perusahaan multinasional harus mempertimbangkan biaya
dan manfaat tambahan, baik internal maupun eksternal. Tarif pajak tinggi yang
dibayarkan oleh importer akan menghasilkan dasar pajak penghasilan yang lebih
rendah.
3.
Faktor
Daya Saing
Demikian
juga halnya, harga transfer yang lebih rendah dapat digunakan untuk melindungi
operasi yang sedang berjalan dari pengaruh kompetisi luar negeri yang semakin
mengikat pada pasar setempat atau pasar lainnya. Pertibangan daya saing seperti
itu harus diseimbangkan terhadap banyak kerugian berakibat sebaliknya. Harga
transfer untuk alasan-alasan kompetitif dapat mengundang tindakan anti trust
oleh pemerintah.
4.
Risiko
Lingkungan
Apabila
faktor daya saing luar negeri dapat menjamin harga transfer yang rendah dan
dibebankan kepada anak perusahaan luar negeri, resiko atas harga inflasi yng
sangat tinggi dapat mengakibatkan hal yang sebaliknya. Inflasi mengurangi daya
beli uang tunai yang dimiliki perusahaan. Harga transfer yang tinggi terhadap
barang atau jasa yang diberikan kepada anak perusahaann yang menghadapi inflasi
tinggi dapat mengalihkan kas dalam jumlah yang sangat besar dari anak
perusahaan tersebut.
5.
Faktor
Evaluasi Kinerja
Kibijakan
harga transfer juga dipengaruhi oleh pengaruh mereka terhadap perilaku
manajemen dan sering kali merupakan penentu kinerja perusahaan yang utama.
6.
Kontribusi
Akuntansi
Para
akuntan manajemen dapat memainkan peranan yang signifikan dalam menghiting
kesibangan dalam strategi penentuan harga transfer. tantangan yang dihadapi
adlah mempertahankan perpseektif global pada saat melakukan pemetaan manfaat
dan biaya yang berkaitan dengan keputusan penentu harga.
METODOLOGI PENENTUAN HARGA TRANSFER
Dalam
suatu dunia dengan harga transfer yang sangat kompetitif, tidak akan menjadi
masalah besar ketika hendak menetapkan harga transfer sumber daya dan jasa
antar perusahaan. Namun demikian, jarang sekali terdapat pasar eksternal yang
kompetitif untuk produk-produk yang ditransfer antar entitas yang berhubungan
istimewa tersebut. Masalah penentuan ini sangat terasa dalam tingkat
internasional, karena konsep akuntansi biaya ini berbea dari satu negara ke
negara lainnya.
1.
Harga
Versus Biaya Versus
Sistem
harga transfer berbasis biaya dapat menangulangi kebanyakan kekurangan ini.
sistem
ini (1) sederhana digunakan, (2) didasarkan pada data yang langsung tersedia,
(3) mudah untuk dijelaskan kepada otoritas pajak, (4) merupakan hal yang sering
dilakukan, sehingga dapat menghindari terjadinya fiksi internal yang sering
terjadi apabila sistem arbitrer digunakan.
2.
Prinsip
Wajar
Harga
transfer antarperusahaan dengan mengadaikan transaksi itu terjadi antara
pihak-pihak yang tidak berhubungan istimewa dipasar yang kompetitif.
3.
Metode
Harga Tidak Terkontrol yang Setara
Metode
ini tepat digunakan jika barang tersedia dalam jumlah cukup sehingga penjualan
yang dikonrtol pada dasarnya sebanding dengan penjualan pada pasar terbuka.
4.
Metode
Transaksi Tidak Terkontrol yang Setara
Diterapkan
untuk pengalihan aktiva tidak berwujud. Metode ini digunakan untuk
mengidentifikasikan tingkat royalti acuan dengan mengacu pada transaksi yang
tidak terkontrol dimana aktiva tidak berwujud yang sama dialihkan.
5.
Metode
Harga Jual Kembali
Metode
ini menghitung harga transaksi yang wajar yang diawali dengan harga yang
dikenakan atas penjualan barang yang dimaksud kepada pembeli yang idependen.
6.
Metode
Penentuan Biaya Plus
Metedo
ini secara khusus berguna apabila barang semi jadi dialihkan antarperusahaan
afiliasi luar negeri, atau jika satu entitas merupakan sub kontraktor bagi
perusahaan lain.
7.
Metode
Laba Sebanding
Metode
ini umumnya memerlukan penyesuaian atas perbedaan-perbedaan yang ada antara
pihak yang dibandingkan. Faktor-faktor yang memerlukan penyesuaian tersebut
adlah kodisi penjualan yang berbeda, perbedaan biaya modal, resiko nilai tukar
valuta asing, dan resiko lainnya dan perbedaan dalam praktik pengukuran
akuntansi.
8.
Metode
Pemisahan Laba
Metode
ini digunakan jika acuan produk atau pasar tidak tersedia. Pada dasarnya metode
ini mecakup pembagian laba yang dihasilkan melalui transaksi dengan pihak
berhubungan istimewa, yaitu antara perusahaan afiliasi berdasarkan cara yang
wajar.
9.
Metode
Penentuan Harga Lainnya
Menurut
OECD : Harus diakui bahwa harga yang wajar dalam banyak kasus tidak dapat
ditetapkan dengan tepat dan bahwa dalam situasi seperti itu akan dipandang
perlu untuk mencari perkiraan wajar yang mendekatinya. Seringkali, akan lebih
bermanfaat untuk perhiyungan lebih dari satu metode untuk mendapatkan perkiraan
atas harga yang memuaskan dengan memperhatikan bukti-bukti yang tersedia.
10. Perjanjian Penentuan Harga Lanjutan
Mekanisme
yang digunakan oleh perusahaan multinasional dan otoritas pajak untuk secara
sukarela menegosiasikan metodelogi penentuan harga transfer yang disepakati dan
mengikat kedua belah pihak.
Sumber :
Choi D.S. Frederick & Meek K. Gary. 2005.
Akuntansi Internasional, Edisi 5 Buku 2. Jakarta: Salemba Empat
http://dellyherdiana.blogspot.com/2014/04/penetapan-harga-transfer_6.html
Langganan:
Postingan (Atom)